Halaman

Jumat, 12 April 2013

Etika (Profesi)

Yap, karena akhir-akhir ini saya sedang sibuk belajar sesuatu yang sangat penting dan tak begitu punya waktu luang untuk pergi ke warnet, maka tulisan-tulisan disini "hanya" saya copy dari notes di facebook saya... Oh ya, sesuatu yang sangat penting itu, yang saat ini sedang sibuk saya pelajari adalah DOTA
*kikikikik :D

Etika (Profesi)


Sebagai seseorang yang sama sekali tak pernah berkecimpung dalam urusan pendidikan di bidang kesehatan seperti akademi keperawatan atau mungkin fakultas kedokteran, saya tak tahu apakah pelajaran tentang etika profesi––profesi yang berhubungan dengan bidang kesehatan tentu saja­––juga disertakan sebagai salah satu kompetensi yang harus dipenuhi para akademisinya. Tapi setahu saya, dalam dunia pendidikan di bidang apapun, sudah seharusnya kan etika profesi senantiasa menjadi satu poin penting yang wajib dipelihara eksistensinya? Tujuannya jelas, yaitu demi menciptakan alumni yang nantinya menjadi tenaga kerja yang kapabel dan bermoral. Dan etika, tentu saja berkaitan erat dengan poin kedua yaitu moral.

Salah satu contoh etika bagi orang-orang yang berprofesi sebagai pelayan kesehatan adalah “mengutamakan pasien”. Dokter, suster, mantri, ataupun bidan, mereka takkan pernah mendapat sebutan seperti itu, kalau tidak ada seseorang yang bernama “pasien”. Oleh karena itu, “mengutamakan pasien” sudah semestinya menjadi “conditio sine qua non” alias syarat mutlak etika yang wajib dimiliki oleh pelayan kesehatan macam mereka itu.

Namun sayang, hal itu tak dapat saya temui hari ini. Sepupu saya yang kebetulan malam hari kemarin tidur di rumah, dilanda demam dan menangis sepanjang malam. Hal itu membuat Ibu tak dapat tidur semalaman. Walhasil, beliau yang memang sejak lama mengidap darah rendah jadi kumat penyakitnya. Siang harinya, beliau meminta saya untuk menjemput bidan terdekat supaya bersedia mengobatinya. Sebagai anak yang berbakti––setidaknya menurut penilaian saya sendiri––saya pun bergegas menuju kediaman bu bidan tersebut.

Tapi sungguh disesalkan bahwasanya saya, pemuda yang mencoba taat kepada orang tua ini, justru dikecewakan dengan ucapan beliau. Bu Bidan yang terhormat itu bilang, beliau masih capek karena baru pulang dari puskesmas.

“Aduuhh, saya mau tidur siang dulu Mas. Nanti saja deh kalau sudah jam empat sore, ya?” padahal saat itu masih setengah dua siang.

Kenyataan tersebut membuat saya kembali ke rumah dengan perasaan kecewa. Tidak, jengkel lebih tepatnya.

Keluhan sakit pada seseorang tak pernah mengenal yang namanya waktu. Dan ketika keluhan itu muncul pada waktu yang tidak bersahabat, sesungguhnya saat itulah integritas seorang pelayan kesehatan dipertaruhkan.

“Orang sakit kok pakai acara tunda-menunda segala, sih? Dua setengah jam lagi?” begitu gumam saya.

Negeri ini, bolehlah punya hobi tunda-menunda. Tapi untuk urusan dua hal: “pengobatan terhadap orang sakit” dan “pengumuman pengangkatan PNS baru”, tolonglah jangan ditunda-tunda. (saya pikir beberapa dari anda tahu masalah ini. Haha)

Insiden tersebut membuat saya berpikir, siapa sebenarnya yang salah? Sistem pendidikan yang menghiraukan pentingnya etika-kah? Atau mungkin kejadian itu memang murni karena sisi personal seseorang yang mempunyai sikap acuh tak acuh terhadap kepentingan orang lain? Seharusnya pemerintah melalui menteri pendidikan, lebih getol memikirkan masalah-masalah seperti ini agar gelar informal Indonesia sebagai negara dengan penduduk paling ramah, paling beretika di dunia, nantinya bukan sekadar memoar sejarah belaka.

Dan yang tak kalah penting, bersama tulisan ini sesungguhnya saya hanya ingin mengajak anda, atau mungkin keluarga anda, mungkin sanak saudara anda, kerabat, pasangan, mantan, sahabat, bos, calon mertua, mantan calon mertua, dukun segala macam penyakit, termasuk juga dukun beranak, atau siapalah itu pokoknya mereka yang berkecimpung di dunia pelayanan kesehatan agar lebih memperhatikan kebutuhan seseorang sakit yang bergelar “pasien” itu. Agar kejadian seperti yang ibu saya alami kapan hari tidak terjadi lagi. Agar bangsa dan negara ini terbebas dari era gelap pelayanan kesehatan yang buruk. Percayalah, pelayanan kesehatan yang baik menentukan kualitas sumber daya manusia yang baik pula.
hehe...

Abdul Abas Nur Aprianto

Rabu, 27 Maret 2013


Aku dan Pengamen

Ah, rasanya sudah lama aku tak membuka blogku. Ini adalah postingan pertama semenjak aku "tidur lama". Selamat Menikmati!! :D

Sore tadi, aku sedang melaksanakan sholat ashar di rumah ketika suara dua orang pengamen kemudian memecah konsentrasiku. Dari yang bisa kudengar, kedua pengamen tersebut sepertinya masing-masing membawa gitar dan ketipung. Mereka dengan sangat rancak membawakan lagu Cakra Khan dengan irama yang biasa kudengar dalam konser orkes-orkes melayu, irama dangdut. Salah satu dari mereka bersuara cempreng sehingga menghasilkan nada yang cukup tinggi.

Sialnya, tak ada siapapun dirumah saat itu. Sementara, aku tak mungkin membatalkan sholatku. Dari ceramah salah seorang ustadz yang pernah kudengar, hanya ada dua keadaan yang membuat kita boleh membatalkan atau setidaknya mempercepat gerakan sholat. Yaitu ketika dipanggil orang tua dan ketika ada bahaya besar yang dapat mengancam harta dan jiwa diri kita sendiri maupun orang lain. Pengamen, jelas sekali tak masuk dalam salah satu diantara kriteria tersebut. Dalam waktu yang tidak memungkinkan untuk berpikir panjang, terbersit satu ide. Aku mencoba “mengusir” mereka dengan cara berdehem cukup keras. Tapi rupanya, menyanyikan beberapa baris lirik tanpa ada sambutan sama sekali dari sang tuan rumah membuat mereka makin meninggikan suara. Suara dehemankupun tenggelam, kalah oleh suara mereka.

Karena berdehem tak berhasil, akupun berusaha menggunakan cara lain, yakni dengan mengeraskan bacaan takbir. Tahu bacaan takbir kan? Yang “Allahu Akbar” itu loh. Tujuannya tentu saja agar mereka tahu bahwa si empunya rumah sedang beribadah sehingga mereka segera sadar dan cepat pergi. Namun sekali lagi, mereka sepertinya tak mendengar usahaku. Si cempreng itu semakin menjadi-jadi saja.

Karena kehabisan akal, akhirnya aku kalap dan berubah menjadi arogan. Keadaan ketika konsentrasi sholat terganggu lantas membuat aku menganggap bahwasanya Tuhan Yang Maha Bijaksana takkan menerima sholatku kali ini. Sepersekian detik usai pikiran tersebut muncul, dan kemudian aku berteriak dengan lantang.
“WOI, YANG PUNYA RUMAH MASIH SHOOLAAAAAT!!!!”

Ajaib, alunan musik serta suara si pengamen langsung lenyap dan mereka pergi. Yang lebih menakjubkan, suara mereka berhenti tanpa ada gradasi sama sekali. Dari derap langkah yang mereka buat, tampak sekali bahwa mereka sangat terkejut. Kalau saja salah satu dari mereka ada yang punya penyakit jantung, akibatnya mungkin lebih buruk.

Aku turun dari tempat sholat lalu melongok ke depan jendela, dan sekilas terlihat tubuh mereka dari belakang, dengan langkah kaki yang belum juga diperlambat. Aku sendiri kebingungan memasang mimik wajah, antara tertawa lebar ataukah murung karena sebuah penyesalan.

04 Februari 2012 21:45

Senin, 19 April 2010

Ikhlas dalam Beribadah

Ikhlas adalah sebuah rahasia yang hanya diketahui oleh manusia pelaku amal dan Allah Swt saja. Tiada yang tahu selain mereka berdua, bahkan malaikat pencatat amal maupun setan penggoda.

Ikhlas adalah dedikasi tulus demi mencari ridha Allah Swt, terbebas dari noda, keburukan dan niat jahat. Siapa yang beramal disertai dengan niat dan keinginan mencari tujuan selain Allah Swt maka amalnya akan gugur dan ia tidak akan mendapat balasan apapun dari Allah Yang Maha Pemurah.

Seperti dikemukakan dalam sebuah hadits qudsi:

Diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah r.a., dia berkata,
“Aku pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda, ‘Allah berfirman, ‘Aku paling tidak membutuhkan persekutuan. Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan dengan menyekutukan-Ku. Maka Aku akan meninggalkan dia dan sekutunya."

Dari sini kita dapat memahami bahwa Allah Swt Maha Pencemburu. Dia Swt tidak berkenan bila ada hambaNya yang beramal dengan tujuan selain Dia Swt. Karenanya, luruskan niatmu demi mencari keridhaanNya semata.

Ada sebuah ayat menarik dalam surat An Nahl yang dijadikan Allah Swt sebagai ilustrasi keikhlasan. Ayat itu berbunyi:
"dan Sesungguhnya pada binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu. Kami memberimu minum dari pada apa yang berada dalam perutnya (berupa) susu yang murni bersih antara tahi (kotoran) dan darah, yang mudah ditelan bagi orang-orang yang meminumnya."

Silakan baca sekali lagi dan resapi maknanya! Mungkin Anda bertanya apa hubungan ayat ini dengan keikhlasan?! Hubungannya adalah bahwa Allah Swt menyebut susu atau laban dalam ayat itu digandeng dengan kata khalisan yang berarti murni/bersih/ikhlas.

Mengapa Allah menggunakan kata khalisan dalam urusan susu? Mungkin berikut ini jawabannya.

Izinkan saya mengajak Anda untuk berilustrasi. Suatu kesempatan Anda dan saya pergi ke sebuah peternakan sapi. Di sana kita diperbolehkan untuk memerah sapi. Susu yang diperah dikumpulkan di sebuah bejana khusus. Dan kita jadi mengerti karenanya bagaimana proses memerah susu sapi.

Namun saat susu itu dikumpulkan di bejana dan kita asyik memerahnya, tiba-tiba keluar dari puting susu tersebut setitik kotoran sapi atau darahnya. Celakanya, kotoran atau darah itu terjatuh pada bejana dimana susu itu dikumpulkan. Tentunya Anda merasa jijik membayangkan ilustrasi ini!

Bahkan Anda tatkala mengetahui proses pemerahan susu rupanya seperti itu, boleh jadi Anda akan bersumpah serapah bahwa Anda akan berhenti minum susu karena jijik. Dan hal itu akan Anda sampaikan juga kepada anak dan kenalan Anda yang suka meminum susu.

Itu hanyalah ilustrasi belaka! Jangan terlalu percaya, sebab insya Allah hingga saat ini proses pemerahan susu sapi maupun hewan lain tidak akan ternodai oleh kotoran maupun darah.

Namun yang hendak saya sampaikan adalah bahwa itulah alasan Allah Swt menggunakan kata khalisan yang berarti ikhlas / murni saat memaparkan susu.
Kalau Anda merasa jijik dan tidak mau minum susu lagi bila tercampur setetes kotoran atau darah, mungkin demikian juga Allah Swt akan merasa jijik menerima ibadah yang kita lakukan untukNya, namun ada setitik niat lain yang terbersit pada hati kita. Naudzubillah!